menyisir bukit pinus
Saturday, February 02, 2002//


Banyak catatan-catatan yang tidak bisa kurangkum sendiri, Kawan. Ah andai saja engkau melihat apa yang kulihat tentu mata binarmu akan memandang terkesima mungkin melebihi ya ng kurasakan. Kuceritakan padamu tentang huma-huma hijau, seseorang lelaki tua sepagi ini telah mengayun cangkulnya membersihkan rumput liar. Rumput itu jahat, ia telah menghalangi tumbuhnya daun kol,. Kalau pak petani tidak membinasakan rumput-rumput itu tentu kita tak dapat memakan daun kol. Alangkah baiknya rumput itu ya Kawan, mengorbankan dirinya untuk menghidupi kita.

Gemiricik air diantara tebing-tebing memecahkan kesunyian, suaranya menyapa relung-relung telingaku, “Mengapa engkau diam, tidak aku tak sedingin yang kau kira. Selamilah aku dan kau akan berkata kesejukan air ini telah menghilangkan kejenuhan dalam tempurung kepala yang letih akan asumsi-asumsi.” Daun-daun pinus itu, Kawan mungkin telah ada sebelum kita lahir, dan mungkin kenangannya akan pergantian musim melebihi catatan-catatan kita. Tutuplah matamu, dan dengarlah bagaimana angin-angin berhembus diantara helaian rambutmu. Rasakan bagaimana ia menyibak dan mengacak-acak rambutmu seakan ia iri akan untaian penuh keanggunan itu. Ah alangkah lucunya ketika engkau memaki-maki angin dan berusaha merapikan kembali rambutmu dengan jemari tanganmu. Setangkai daun akasia pun jatuh mengenai wajahmu, ia meninggalkan tempatnya selama ini ia bersemayam, dan ketika melihat dirimu iapun ingin pindah, berharap untuk kau miliki. Hi…hi..hi….nyanyian kupu-kupu yang hinggap, serasi sekali mereka. Jangan..jangan..kau tangkap mereka, biarkanlah ia terbang sesuka mereka, sebab karena merekalah hutan ini jadi penuh nuansa, dan karena merekalah kita dapat menikmati arum buah. Tidakkah lebih baik ia tetap seperti adanya, berkitar,sebab jika ia ada ditangan kita iapun mati. Maafkan aku Kawan, aku bercerita seakan engkau ada disini. Benar, jiwaku telah melayang dan menjemput sukmamu dari ketidaksadaran tidurmu dan mengajakmu melihat taman itu, seperti kisah Adam yang membawa Hawa melihat taman eden sebelum ia terlempar ke bumi. Sungguh, semua kata-kata ini tercipta darimu. Yang kasat namun ada.

Mari kita daki jalan setapak ini, hati-hati peganglah ranting itu jadikan ia cengkraman kakimu, kabut fajar tadi telah membuat jalan kita licin. Lihat puncak itu, disana kita kan melihat hamparan itu. Dimana pandangan mata kita tak terkekang. Dimana kau bebas berinspirasi, dimana kau bebas melepaskan kepekatan mimpimu tuk dijernihkan. Diatas bukitlah kita kan menemukan nilai-nilai itu.
Mari kupapah tanganmu, sebab kita tak punya sayap untuk dapat cepat keatas sana. Hei…lihat burung itu, ia memandang kearah kita, terpesonakah ia?..sehingga tak sadar ular daun telah mengintai diatasnya. Lihat burung elang itu ia telah mencapai awan, dan menukik kembali, menuju kearah kita, lihat kepakan sayapnya mengembang kokoh, suaranya ah..memekakkan telinga. Tapi dengar apa yang ia katakan pada kita”Hei Anak Adam ikutilah aku keatas awan sana, disana tak kulihat batas wilayah, batas kekuasaanmu yang membuat engkau saling berperang. Tapi sayang ya Kawan, kita tak bisa mengikuti elang itu dan duduk sejenak diatas awan.

Lelah sudah kita mendaki, mendung telah mematahkan harapan. Tentu tubuh kita akan tersirami olehnya, karena kita tak mampu berjalan disela-sela airnya. Percuma hujan itu membasahi kita, ya Kawan, ia cuma membuat tubuh kita kedinginan. Lebih baik ia membasuh tanah gersang mungkin benih yang tertiup angin tadi akan bersemi karenanya. Oh angin kuatkanlah ragamu….singkirkan mendung itu dari hadapan kami, bawa ia pergi keutara sana sirami, sirami butir-butir tanah itu, tidakkah engkau lihat seorang petani memasang sesajen, pinta hujan. Dan bawakan sesajen itu pada kami karena kami lapar dan tak mau mati sebelum kulihat ibu pertiwi tersenyum.
“Jangan cemas Rud, tampaknya mendung segera lewat, lihat matahari itu ia mulai menampakkan diri, sebab hari ini dimilik kita. Dan akupun membawa sepotong roti mungkin in cukup untuk kita berdua” Suaramu mematahkan ketakutanku.

bukit jayagiri, 2 februari 2002


--Rudi Suardi--
7:46 PM


Rudi Suardi
___________________

Seorang lelaki kecil yang mencoba menyibak bagian dunia dengan caranya sendiri, walau kadang warna yang ia punya tak seindah warna pagi atau sunset tepian pantai, dalam nafasnya yang kadang tersengal, ia mencoba mengukir asa di bilangan jakarta, manjadi debu digurun sahara, berharap dapat terbang bersama angin, tuk hinggap di mahkota sang raja, dan iapun berkilau karenanya.......

Likes
___________________

Saya membenci kemunafikan, bagiku kejujuran yang pahit jauh lebih baik daripada nyanyian merdu yang berisi puja dan puji namun dusta....

Sahabat
___________________

Bho-Bho
Vitrie
Bho-bo

Links
___________________

kantor gue



Buku Tamu
___________________

by wdcreezz.com

Name

Email/URL

Message

Jakarta Saat Ini
___________________

Goresan Lalu
___________________

September 1995
January 1996
June 1996
September 1997
May 1998
May 2001
November 2001
February 2002
March 2002
February 2003
March 2004
June 2004
July 2004
September 2004
November 2004
December 2004
September 2005
November 2005
January 2006
February 2006
March 2006
April 2006
June 2006
July 2006




Get awesome blog templates like this one from BlogSkins.comGet awesome blog templates like this one from BlogSkins.comGet awesome blog templates like this one from BlogSkins.com